Oleh Mahening Citra Vidya
Penerima Beasiswa Unggulan Dikti 2012
Master in Mechanical Engineering, University of Twente
Saya bengong, tentu saja. Tak ada kata-kata “proof of advisorship” di daftar dokumen yang diminta oleh Dikti sebelumnya. Di perguruan tinggi tujuan saya, tahun pertama diisi dengan kuliah sehingga tesis baru dimulai pada tahun kedua. Tidak seperti mahasiswa program doktor, mahasiswa master tidak perlu memiliki dosen pembimbing pada tahun pertama karena tesis dan spesialisasi yang akan diambil baru ditentukan pada tahun kedua. Walaupun saya telah mengontak dosen-dosen Twente, saya belum mempunyai pembimbing tesis resmi, dan itu artinya ada kemungkinan nama saya akan dicoret dari daftar penerima beasiswa karena dokumen “proof of advisorship” saya tidak lengkap.
“Uh, no, I do not have it. What do you mean by ‘proof of advisorship’?”Keringat dingin menetes.
Beliau mulai menjelaskan secara singkat-padat-jelas mengenai dokumen yang dimaksud, yaitu bukti berupa print out email atau korespondensi apapun yang menunjukkan bahwa ada seorang profesor di Twente yang bersedia menjadi pembimbing tesis saya. Makin meneteslah keringat dingin saya.
“I have contacted a professor in Twente by email, is it sufficient? But I do not bring it right now, so may I print it…”
“Sure. Bring it here before 12 o’clock. I’ll be here.”
Kemudian sang pewawancara dengan cueknya menunduk dan menulis sesuatu di hadapan saya, bahasa tubuh yang cukup jelas mengisyaratkan bahwa sesi wawancara telah selesai. Dengan mata nanar, saya berjalan ke arah pintu keluar sambil melihat pelamar-pelamar lain yang masih diwawancara. Meja sebelah saya sepertinya ceria sekali, pewawancaranya seorang bapak berambut semburat putih dan pelamar beasiswanya seorang gadis cantik yang sedang tertawa riang.. (maaf, nggak penting). Anyway, jam menunjukkan pukul 09.30, jadi saya masih mempunyai waktu sekitar dua setengah jam untuk mencetak email-email saya dan mendapatkan “proof of advisorship” itu, entah bagaimanapun caranya. Plan A sampai Z disusun, dengan kemungkinan terburuk adalah kembali ke tempat wawancara dengan tangan hampa.
Hal pertama yang saya lakukan yaitu segera kembali ke tempat kos untuk mendapatkan akses internet, laptop, printer, dan semuanya. Tempat wawancara cukup jauh dari peradaban, tidak ada printer maupun tempat nge-print di sekitarnya. Hanya ada masjid. Mungkin kalau saya menyerah, saya sudah tidur-tiduran dan pasrah berdoa di masjid alih-alih buru-buru kembali ke rumah kos. Dalam perjalanan pulang ke tempat kos, saya menelepon kakak kelas saya di Twente dengan harapan mendapat penjelasan mengenai cara untuk mendapatkan dosen pembimbing dalam waktu kurang dari dua jam,birokrasi, dan sistem yang berlaku di Twente. Berhubung saya menelepon jam 10 WIB, di Belanda saat itu masih pukul 5 dini hari dan kakak kelas saya tak jelas bicara apa. Menelepon Pak Profesor pun tak mungkin. Akhirnya saya mengirim email kepada beliau dan seorang dosen lain yang saya harap dapat membantu saya mendapatkan surat “proof of advisorship”tersebut. Saya sudah pasrah begitu mengetahui bahwa tak mungkin email saya akan dibalas dalam waktu dua jam. Saya pun kembali ke tempat wawancara dengan membawa lembaran-lembaran hasil cetakan email percakapan saya dengan Pak Profesor.
Tepat pukul 12.00 WIB, saya sampai kembali di tempat wawancara dan Ibu Pewawancara masih menunduk menulis sesuatu di mejanya. Saya serahkan email korespondensi saya, namun beliau berkata bahwa yang benar-benar dibutuhkan adalah selembar kertas dengan pernyataan tegas dari seorang profesor yang bersedia menjadi pembimbing tesis saya. Akhirnya saya beranikan diri untuk bertanya apakah dokumen tersebut bisa disusulkan dan alhamdulillah, beliau menyetujui!
Pelajaran moral nomor dua: mungkin saja hal-hal semacam ini terjadi pada saat wawancara, hanya untuk melihat tingkat keseriusan pelamar dalam memenuhi tenggat waktu.
Pelajaran moral nomor tiga: siapkan Letter of Advisorship. Walaupun pihak universitas menolak untuk memberikan surat tersebut karena mahasiswa S2 masih belum menyelesaikan kuliah tahun pertama, sebaiknya langsung minta saja ke calon profesor pembimbing.
Singkat cerita, saya mendapatkan selembar-kertas-berisi-pernyataan-tegas-Pak-Profesor-lengkap-dengan-tanda-tangannya. Luar biasa, betapa responsif dosen-dosen Twente dalam membantu saya mendapatkan surat tersebut tanpa birokrasi yang berbelit-belit. Saya kumpulkan keesokan harinya, dan alhamdulillah here I am now!