Oleh : Wijayanto
Den Haag – 4 Desember 2013. Universitas Leiden menggelar Peringatan 100 Tahun Husein Jayaningrat, pelajar Indonesia pertama yang pernah meraih gelar doktor. Di Belanda nama Husein ditulis dengan ejaan Hoesein Djadjadiningrat. Husein meraih gelar doktor dalam bidang sejarah dari Fakultas Humaniora, dengan disertasi berjudul: Analisis Kritis atas Sejarah Banten: Sebuah Kontribusi Atas Historiografi Jawa, yang berhasil dipertahankannya di hadapan sidang penguji pada Oktober 1913.
Sebagai perwakilan mahasiswa Indonesia yang diminta untuk menyampaikan buah pikiran tentang Hussein dalam peringatan tersebut, saya melakukan riset kecil yang antara lain membawa saya pada sebuah pembacaan menarik atas artikel sejarawan Harry A. Poeze yang ditulis pada tahun 1989 dengan judul Orang Indonesia di Universitas Leiden. Tulisan Harry ini, ditambah beberapa artikel yang berhasil saya peroleh dari berbagai sumber membawa saya pada sebuah refleksi bukan hanya tentang Husein, namun juga tentang pelajar Indonesia di Belanda pada masa itu yang menurut saya relevan untuk hari ini.
Pertama, terkait dengan kisah pelajar Husein. Dia tidak hanya doktor pertama di Indonesia, namun juga intelektual yang disegani di Belanda. Pada tahun 1908, sebelum merampungkan disertasinya, Husein memenangi kompetisi penulisan ilmiah di Universitas Leiden, dengan judul: Analisis Kritis Atas Sumber Berbahasa Melayu Tentang Sejarah Kesultanan Aceh. Tulisan sepanjang 130 halaman ini mendapat pujian karena analisanya yang kritis, alur pikirnya yang logis dan metodenya yang jernih. Artikel ini kemudian diterbitkan di jurnal prestisius internasional: Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde (Kontribusi untuk Linguistik, Antropologi dan Etnologi, red) Volume 65 dan terbit pada 1911 dan menjadikan nama Husein sejajar dengan para mahasiswa Belanda lainnya. Hingga kini, jurnal yang dikelola oleh lembaga riset KITLV yang berlokasi di Kota Leiden ini masih merupakan salah satu jurnal internasional kelas satu di dunia.
Dua karya Husein di atas hanyalah awal dari karya-karya Husein lain tentang sejarah Indonesia yang membuat dia tidak hanya dinobatkan sebagai Bapak Metodologi Ilmu Sejarah di Indonesia, namun juga Indolog atau ahli Indonesia pertama dari kalangan pribumi. Peristiwa ini menjadi penting karena sejak itu ada perspektif keilmuan tentang Indonesia yang lahir dari anak Indonesia sendiri. Peristiwa ini juga menjadi signifkan karena bahkan hingga hari ini pun jika saya mencari di jurnal-jurnal internasional atau buku-buku bahasa Inggris di berbagai perpustakaan dunia, studi tentang Indonesia masih didominasi oleh nama-nama asing, dan sangat sulit untuk menemukan nama Indonesia. Apa jadinya jika pengertian dunia tentang Indonesia hanya ditentukan oleh orang-orang asing saja? Di tengah komunitas epistemik dunia yang begitu didominasi oleh ilmuwan Barat inilah, Husein telah menjadi pemula dalam perjuangan menghadirkan perspektif indigenous dalam diskursus dunia tentang Indonesia.
Kedua, terkait dengan dinamika intelektual dan pergerakan mahasiswa Indonesia di masa Husein. Membaca Harry A. Poeze membuat saya mengerti bagaimana gerakan intelektual pelajar Indonesia yang ada di Belanda pada masa itu telah memainkan peran penting bagi lahirnya ide dan gerakan Indonesia merdeka. Husein dan kawan-kawannya di Leiden dan seluruh Belanda seperti Soemitro dan Noto Suroto mendirikan asosiasi mahasiswa Hindia dengan nama Indische Vereeniging pada 1908, yang merupakan embrio bagi lahirnya gerakan asosiasi pelajar Indonesia yang lebih radikal setelah berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging atau yang juga dikenal sebagai Perhimpoenan Indonesia pada 1922. Sejak periode itu, para pelajar Indonesia di Belanda, seperti Iwa Koesuma Soemantri dan Mohammad Hatta, sudah mulai terang-terangan menutut kemerdekaan yang antara lain mereka suarakan melalui majalah yang mereka terbitkan sendiri: Indonesia Merdeka.
Relevansi Hari Ini
Kisah Husein dan kawan-kawan segenerasinya ini menjadi penting jika kita melihat dalam persepktif kekinian. Jika merujuk pada data terakhir Dikti, dalam 5 tahun terakhir, dari 2007-2012, ada 7292 mahasiswa PhD yang berangkat sekolah di berbagai universitas terbaik di dunia. Data itu jika dirinci meliputi 3676 adalah penerima beasiswa dikti, 3616 penerima beasiswa dari sumber lain. Kemudian pada Mei 2013, jumlah total mahasiswa Indonesia dari berbagai jenjang pendidikan pada saat ini terdapat 82 ribu orang yang sedang menempuh studi di lebih dari 30 negara.
Jumlah ini sangat jauh berbeda dengan jumlah anak indonesia yang bisa mengenyam pendidikan di luar negeri pada masa Husein dan teman-teman segenerasinya, yang berkisar belasan. Maka menjadi menarik untuk menanti apa yang bisa dikontribusikan oleh para pelajar Indonesia yang ada di luar negeri hari ini, baik dari segi sumbangsih keilmuan dalam rezim ilmu pengetahuan dunia, maupun dari segi pembangunan nasionalisme Indonesia. Itu adalah pertanyaan menarik untuk direnungkan oleh setiap pelajar Indonesia di luar negeri, di negara mana pun mereka berada.
Keterangan penulis:
Penulis adalah mahasiswa program Doktoral di Fakultas Humaniora, Universitas Leiden, Penerima beasiwa DIKTI-Leiden 2012.
Opini ini dikutip dari detiknews.com :
http://news.detik.com/read/2013/12/06/163524/2434780/103/mengenang-satu-abad-husein-jayadiningrat